<$BlogRSDUrl$>

Berita

Berisi berita2 pilihan editor

Thursday, February 19, 2004

Mata Jahat Kamera 

http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0402/15/layar.htm

Minggu, 15/02/04

Layar

Mata Jahat Kamera


SEPANJANG Kamis (12/2) kemarin, nyaris semua media terkecoh oleh Akbar Tanjung.
Dengan kecerdasannya, orang nomor satu di Partai Golkar itu memanfaatkan
televisi untuk ikut memainkan "politik ruang keluarga" yang dia skenariokan.
Luar biasa!
Jutaan pemirsa televisi pasti tersedot oleh liputan kasus kasasi Akbar Tanjung.
Semua stasiun teve berlomba mencari angel paling tepat, untuk menjadi yang
terbaik. Laporan langsung persidangan, demonstrasi di depan Gedung Mahkamah
Agung, wawancara dengan banyak pihak yang terkait dengan kasus itu, menjadi
sajian utama. Tapi, tampaknya TV7 lebih jeli membaca peluang. Televisi milik
Group Kompas itu membagi dua layar televisi, menampilkan pembacaan dakwaan dan
suasana di rumah keluarga Akbar Tanjung.
Maka yang tampak kemudian sepanjang hari itu adalah perbandingan antara suasana
persidangan dan atmosfer di rumah Akbar. Keluarga besar Akbar berkumpul. Dia
bersama istri dan dua anaknya duduk di sofa dan menonton teve dengan tegang.
Berkali-kali dia menyalami tamu yang hadir, tapi matanya fokus ke televisi. Di
sisi kirinya, Ruhut Sitompul, asyik melempar senyum ke para tamu dan sesekali
menatap televisi. Tapi, jika Anda perhatikan, beberapa kali Ruhut menatap kamera
TV7 dengan ekspresi yang aneh. Ia menyadari sungguh kehadiran kamera.
Kehadiran Ruhut penting dicatat di sini. Sebelumnya, sebagaimana yang dicatat
Kompas (12/2), dia telah mengatakan bahwa kliennya, Akbar Tanjung, pasti bebas.
"Saya yakin seratus persen. Rumput bergoyang pun sudah tahu," ujarnya sambil
tertawa. Pernyataan Ruhut itu bertolak-belakang dengan Akbar yang masih
berharap, "Saya mohon kepada para kiai untuk mendoakan saya agar bisa lolos dari
cobaan ini," katanya di Jember, Rabu (11/2). Dari dua pernyataan itu, kita dapat
melihat arah media, terutama televisi, dalam menangkap momen putusan kasasi
tersebut.
Sandiwara Akbar
Poin pertama yang harus dicatat, apa yang dikatakan Ruhut sebenarnya telah
menjadi rahasia umum. Hampir semua media online, sepanjang Selasa sudah
memberitakan tentang akan bebasnya Akbar. Tentu tanpa menyebut sumber berita
itu. Ruhut sendiri hanya mengatakan informasi bebasnya Akbar dia dapatkan
berdasarkan jaringan yang dia miliki di MA. Tapi skor putusan 4-1 yang dia
katakan, ternyata memang terbukti.
Poin kedua adalah pernyataan Akbar. "Saya ingin mendengarnya bersama istri dan
anak saya di rumah, karena ini memengaruhi kehidupan saya dan keluarga,"
ucapnya.
Ada kejanggalan pada dua pernyataan di atas. Sebagai pembela nonligitasi Akbar
Tanjung, Ruhut Sitompul tidak mungkin tidak memberitahukan diterimanya kasasi
kasus korupsi Rp 40 miliar dana nonbujeter Bulog itu. Artinya, jika hari Selasa
saja para wartawan telah mendapatkan bocoran tentang hasil keputusan kasus itu,
dan hari Rabu Ruhut sudah "tergelak-gelak" mengatakan hasil keputusan itu,
sangat mustahil Akbar belum tahu.
Indikasi lain, Akbar mengikuti sidang itu dari rumah dan membiarkan --atau
mungkin mengundang-- teve untuk meliput kegiatan dia di rumah sepanjang hari
itu. Dari sini saja dapat ditarik konklusi, sangat tidak mungkin jika Akbar
tidak tahu hasil putusan kasasi itu, dia berani mengundang wartawan teve. Apakah
dia siap reaksi semua keuarganya, tertangkap kamera, jika kasasinya ditolak MA?
Maka semua reaksi yang tampil di rumah Akbar jelas "sandiwara akbar".
Sayang, inilah yang tidak ditangkap teve. Akbar dengan sederetan penasihatnya
yang sangat cerdas justru memanfaatkan mata kamera untuk memperbaiki citra. Maka
duduklah dia di sofa itu dengan wajah tegang, bibir yang terus mendaraskan doa,
dan hanya berdiri untuk pergi shalat. Istrinya, Krisnina, duduk dengan wajah
kelabu, nyaris tampa make-up, pucat, wajah kurang tidur. Hanya dua anak mereka
yang riang. Si bungsu tersenyum terus dan yang nomor tiga duduk tanpa gelisah.
Kamera teve terus mengikuti gerak-gerik Akbar. Dan begitulah, saat magrib, Akbar
pun berbuka puasa, meneguk air putih, dua keping roti kering, dan lima menit
kemudian, putusan kasasi jatuh. Dia segera menengadahkan tangan, berdoa syukur.
Sementara, takbir "Allah Akbar" bergema di ruangan. Akbar meneguk lagi air
putihnya dan hadirin yang menyalami dan memeluknya, menyibak, memberikan ruang
baginya untuk sujud syukur. Sempurnalah "sandiwara" itu.
Jelas, sujud syukur dan doa itu bukan sandiwara dan juga bukan reaksi spontan.
Tapi semua momen itu dia lakukan dengan kesadaran ada kamera yang mewakili
jutaan pasang mata. Adegan berikutnya adalah tayangan "telenovela", tangisan,
pelukan, takbir syukur, yang membentuk citra betapa Akbar sangat dicintai,
betapa hebat ikatan keluarga besar mereka. Dan jujur, suasana haru itu memang
merembes ke pemirsa yang larut karena ikut mengamati sedari awal.
Kealpaan Media
Televisi seakan tidak cukup dengan tayangan "politik" ruang keluarga itu.
MetroTV pukul 22.00 WIB menayangkan "Election Watch" dengan moderator Denny JA
yang juga membahas kasus Akbar, menghadirkan Wasekjen Golkar Bomer Pasaribu.
Pukul 24.00, MetroTV kembali mengulas kasus itu dalam "Midnight Live" dengan
narasumber wakil mahasiswa pendemo dan Ketua AMPG Yorris Raweaei.
Tapi dua tayangan itu masih dapat dimaafkan dibandingkan dengan tayangan "Duduk
Perkara" TV7 pukul 20.00 WIB. Tayangan ini bukan mendudukkan perkara kasasi itu
di tempat yang sebenarnya, melainkan meloncat membahas "drama mengharukan" di
keluarga Akbar Tanjung. Uni Lubis memang menghadirkan wakil dari ICW dan
Presidencial, selain Akbar dan putrinya, tapi dua narasumber itu hanya pajangan.
"Duduk Perkara" malam itu justru melecehkan nalar penonton dengan tidak membahas
substansi pertimbangan hakim yang membebaskan Akbar. Moderator justru bertanya,
perlakuan semacam apa yang diterima putri Akbar di sekolah setelah ayahnya
didakwa kasus korupsi itu. Ini kan cara berpikir yang setali tiga uang dengan
empat hakim agung yang sibuk menganalisis Terdakwa II dan Terdakwa III tapi
tidak memberi banyak uraian mengenai Terdakwa I (Akbar Tanjung).
Kebodohan itu masih berlanjut dengan kelucuan moderator yang menghubungkan
kebebasan Akbar dengan Hari Valentine. Masya-Allah, keputusan yang menyangkut
penegakan supremasi hukum dan moralitas hanya didudukkan sebagai anugerah pada
Hari Valentine. Bayangkan, talk show macam apa itu yang menggiring penonton kian
menjauhi "duduk perkara"? Itu belum cukup, Uni bahkan bertanya kepada dua
narasumber lain, tidakkah mereka ikut sedih dan tergerak melihat kesulitan dan
derita yang dialami keluarga Akbar Tanjung? Gila!
Dari semua tayangan di atas, tampaknya media (terutama televisi) tidak menyadari
skenario yang dikembangkan "tim humas" Akbar Tanjung. Dengan pernyataan Akbar
sebelumnya bahwa dia akan menunggu putusan bersama keluarga saja, telah terbaca
"arah angin" yang ingin ditiupkan politikus senior itu.
Dengan menunggu di ruang keluarga dan mengundang televisi juga media lain
memasuki domain keluarga tersebut, tampak secara nyata Akbar ingin mengubah
kasus korupsi itu dari ranah ruang publik menjadi wilayah ruang keluarga.
Artinya, posisi nyata kasus itu yang menjadikan Akbar sebagai Terdakwa I dengan
jabatan publik sebagai Mensesneg dia geser, dengan bantuan media, sebagai
tanggung jawab pribadi, seorang ayah.
Yang tampil kemudian adalah kegelisahan seorang ayah yang diapit dua putrinya,
yang cemas dan gugup, didampingi istrinya yang pucat dan "kumuh" daripada
kegelisahan ratusan rakyat kecil yang tak terangkat nasibnya karena "hilangnya"
dana Rp 40 miliar itu.
Begitu canggih Akbar memainkan skenario itu, sehingga begitu putusan bebas
dibacakan, citra kelegaan keluarga yang ditonjolkan. Dan keberhasilan memainkan
"politik ruang keluarga" itu berimbas pada liputan media selanjutnya yang sudah
terhipnotis oleh tayangan tersebut, sehingga menginfiltrasi tayangan sejenis
"Election Watch" dan "Duduk Perkara".
Media dalam hal ini melakukan bias: lebih banyak menghadirkan "fakta psikologis"
daripada "fakta sosiologis". Bukan hanya itu, dalam peliputan kasus ini pun,
media mengambil praktek talking news, menyitir pendapat tokoh-tokoh daripada
menyajikan dampak kasus itu pada masyarakat kebanyakan.
Dan yang paling memprihatinkan, berdasarkan intensitasitas peliputan, media
hanya menjadikan kasus ini sebagai "hiburan" dan "berita" an sich. Hanya meliput
ketika suasana sedang panas atau bahkan haru. Saya yang melihat pembodohan itu
hanya bisa mengelus dada, karena sebagai orang yang bekerja di media, saya
merasa sedang ikut menanggung dosa. (Aulia A Muhammad-75)
posted by IT Tipps & Tricks  # 3:11 PM

Sontoloyo!! 

Minggu, 08 Februari 2004

Sontoloyo

Oleh : Haedar Nashir


Islam Sontoloyo! Itulah predikat yang diberikan Soekarno tahun 1940
terhadap orang Islam yang jumud, bodoh, dan memperalat paham agama
(fiqh) untuk menghalalkan sesuatu yang buruk. Sontoloyo, adalah kata
makian untuk perilaku yang konyol, bodoh, dan tidak beres. Perilaku
jahil murakab. Bodoh sebodoh-bodohnya.

Memalukan tiada bandingannya. Andaikan presiden pertama Indonesia itu
masih hidup dan menyaksikan negeri yang ikut dibidaninya saat ini
coreng-moreng tiada tara, mungkinkah dia akan menjuliki Indonesia
Negeri Sontoloyo? Boleh jadi begitu. Secara imajiner penulis ingin
mengatakan kepada Bung Karno, inilah Indonesia Sontoloyo. Negeri yang
terjerumus ke dalam kebodohan yang memalukan.

Negeri yang setiap warganya kini merasa malu kalau melancong ke luar
negeri, meskipun di dalam negeri semakin banyak politisi dan petinggi
negeri tak punya rasa malu. Negeri yang penuh dengan perilaku-
perilaku konyol dan tidak waras. Negeri yang serba apa pun boleh. Apa
pun terjadi.

Dalam perjalanan kami naik kereta api dari Berlin ke Frankfurt sambil
menikmati keindahan alam yang bersalju putih, mas Imam Prasodjo
sempat berbagi pengalaman. Sosiolog UI itu benar-benar merasa gembira
ke luar negeri hanya ketika berkunjung ke Kamboja. Selebihnya penuh
kesedihan. Kenapa? Hanya dengan Kamboja lah Indonesia saat ini masih
bisa disetarakan. Dengan negeri-negeri jiran seperti Vietnam saja
kita sudah ketinggalan.

Apalagi dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura. Lebih tak sebanding
lagi dengan negara-negara maju, jauh panggang dari api. Sebuah
sinisme yang tak enak. Tentang Indonesia yang kalah dan tertinggal.
Kegundahan bukanlah penghinaan atas negeri sendiri. Merasa diri malu
di hadapan bangsa-bangsa lain bukanlah kehilangn rasa nasionalisme.
Lebih-lebih untuk nasionalisme naif, "baik buruk negeri saya".

Kegundahan dan luapan rasa malu adalah pertanda dari ketidak-habis-
mengertian kita yang mencintai Indonesia atas berbabagai kekonyolan
di negeri ini. Sebuah ledakan protes batin dan pemberontakan pikiran
kritis atas Indonesia yang sontoloyo! Cobalah daftar sederet perilaku
sontoloyo di Republik ini. Penyelenggaraan haji yang demikian penting
dan menyerap dana umat sangat besar, ternyata masih diwarnai salah
urus, musibah, dan tragedi.

Celakanya untuk semua kekonyolan itu kita katakan sabar, maaf, dan
takdir. Agama dan institusi keagamaan dijadikan tameng atas
kesemerawutan, kekeliruan, kesalahan, dan hal-hal naif. Tuhan dan
agama dipakai alat legitimasi ketakberesan. Dan seperti sebuah
dongeng, akhirnya semua berlalu begitu saja. Tak ada akuntbilitas
publik. Tak ada solusi. Tak ada perubahan. Anjing menggonggong,
kapila tetap berlalu. Dunia politik tak kalah sontoloyo.

Serba konyol dan menyebalkan. Para anggota DPRD malah sibuk urus
pesangon besar-besaran, selain saling berebut nomor urut caleg. Mudah-
mudahan DPR Pusat tak ikut-ikutan bikin pesangon. Padahal di depan
mata sangat telanjang bagaimana rakyat menjerit sulit cari pekerjaan,
terkena PHK, dan mencari sesuap nasi. Repotnya untuk kekonyolan
seperti itu ada logikanya. Bahwa pesangon itu sangat wajar atas tugas-
tugas berat selaku wakil rakyat.

Padahal mereka banyak yang terserang penyakit gampang tidur di kala
sidang. Bahkan sering bolos dan ngelencer ke luar negeri. Sungguh
logika bela diri yang konyol. Logika rakus dan mungpung kuasa.
Mungkin daripada dilarang tetapi akhirnya terus bebal, suruh saja
para "wakil rakyat" itu untuk menambah penghasilan sebanyak-
banyaknya. Bawa kursinya sekalian ke rumah. Watak pemulung memang
sulit disembuhkan.

Lebih-lebih untuk penyakit ajimungpung dan penjarah. Biarkan saja
sampai mereka kembung. Soal politisi dan pejabat busuk? Ah mana ada
makhluk sejenis itu di Republik ini. Kalaulah ada, tentu sudah
diseret dan divonis pengadilan. Nyatanya bebas dan tak bersalah kok.
Pelanggar HAM, merasa tak melanggar karena menjalankan tugas negara.
Koruptor juga sama, "saya kan tidak bersalah" begitulah logikanya.
Perusak lingkungan apalagi, itu jenis kebusukan yang sulit terjerat,
wong cuma alam saja yang jadi korban.

Sedangkan yang terlibat kebusukan lain, lebih sumir lagi. Semuanya
kebal dan bebal hukum. Tak seperti maling ayam. Lagi pula para
politisi dan pejabat bermasalah itu pendukung dan gizinya luar biasa.
Mana mungkin terjerat. Apalagi terjerat oleh anak-anak ingusan yang
kini mengusung gerakan antipolitisi dan pejabat bermasalah. Jangan-
jangan gerakan mulia seperti itu seperti menyabet angin.

Para elite jagoan itu mungkin akan bilang, Kingkong lu lawan. Kalau
Kingkong beneran masih bisa ditaklukkan dengan senjata pembius. Tapi
Kingkong berdasi, sangat piawai dengan seribu satu muslihat.
Bagaimana dengan rakyat kecil? Kita tahu mereka hidup serba susah dan
terus kalah. Dari berbagai survei konon wong cilik itu pun sudah muak
dengan politik dan partai politik. Sebal dengan pejabat dan tak
percaya lagi pemerintah.

Tapi, sikap politik dan batin rakyat kebanyakan itu pun rasanya sulit
dimengerti. Kalau Pemilu datang pada waktunya, mereka kembali memilih
partai dan elite-elite yang selama ini mereka pilih dan kemudian
mengecewakan. Mereka kembali ke habitat masing-masing. Tak jera-jera.
Memori sejarah mereka juga sangat buruk, mudah lupa masa silam yang
kelam. Mereka bahkan ingin kembali ke romantisme Orla dan Orba,
karena tak sabar menapaki reformasi. Tak mau belajar kritis dan
mencoba hidup baru. Itulah mental kerbau pulang kandang.

Semua kembali ke kubangan. Sontoloyo juga. Kenapa negeri dan bangsa
ini jadi sontoloyo? Konyol dan semerawut. Mungkin karena sejak awal
ada kesalahan-kesalahan fatal dalam cara mengurus negara di Republik
ini. Rezim Orla terjebak pada otoritarianisme dan uthopianisme dalam
membngun negeri ini, sampai menghasilkan tragedi 1965 dan
kebangkrutan ekonomi. Andai waktu itu Soekarno berbagi kuasa sepuluh
tahunan dengan Mohammad Hatta, mungkin cerita negeri ini akan lain.

Hatta tahu bagaimana cara mengurus negara dengan tepat. Sayang dia
tak berkesempatn. Rakyat Indonesia rupanya lebih gemar pemimpin
kharismatik di langit tinggi. Bukan pemimpin nyata di bumi. Rezim
Orba Soeharto juga konyol. Banyak salah urus. Memang berhasil
membangun fisik dan ekonomi, tetapi fundamntalnya hancur.

Membangun sambil meninggalkan jejak kerusakan. Sedangkan tiga kali
pemerintahan transisi di era reformasi, sama-sama tak teruji.
Penyakitnya sama, tak tahu cara mengurus negara dengan standar.
Habibie hanya sebentar, dia membawa beban Orba dan cendrung elitis
sehingga tak begitu tahu membangun yang berbasis daulat dan potensi
rakyat.

Abdurrahman Wahid bagus gagasan-gagasan populisnya, tapi juga tak
tahu cara mengelola pemerintahan dengan benar. Padahal mengurus
negara sama sekali berbeda dengan mengelola pesantren. Sedangkan
rezim yang sekarang, juga tak mengurus negara dengan serius. Tanpa
direksi dan nakhoda, mau dibawa ke mana negeri ini? Jadilah bangunan
pemerintahan yang sontoloyo. Negara tak diatur sebagaimana mestinya.
Rakyat tak diurus sebagaimana layaknya.

Ada memang yang diurus dengan tekun, yakni penjualan aset dan sibuk
memenangkan pertarungan 2004. Itulah kesontoloyoan struktural negeri
Indonsia. Kini hanya tinggal satu pertanyaan, apakah Pemilu 2004 itu
pun pada akhirnya hanya akan melahirkan pemerintahan yang masih
sontoloyo? Wallahu 'alam. Entah harus berpulang kepada siapa. Para
elite dan kekuatan-kekuatan non-sontoloyo nyaris tak pernah
bersinergi.

Tak mau bersatu. Masing-masing mengusung dan terlalu percaya dengan
kekuatan sendiri. Lebih-lebih kalau telah terjangkiti penyakit SMS,
polling, dan survei yang menggembirakan hati. Kamilah yang akan
menang, begitulah over-cinfidence mereka. Semua merasa kuat, untuk
akhirnya tergelincir dan kemudian baru sadar kalau pemenang putaran
puncak adalah rezim sontoloyo. Nasi lalu menjadi bubur dan kemudian
busuk. Jika itu terjadi, semua memang konyol. Jadi sontoloyo!
posted by IT Tipps & Tricks  # 3:05 PM

Archives

Tuesday, December 16, 2003   Wednesday, December 17, 2003   Wednesday, December 24, 2003   Thursday, December 25, 2003   Saturday, January 03, 2004   Monday, January 05, 2004   Tuesday, January 13, 2004   Wednesday, January 14, 2004   Sunday, February 01, 2004   Monday, February 02, 2004   Monday, February 16, 2004   Wednesday, February 18, 2004   Thursday, February 19, 2004   Wednesday, March 03, 2004   Monday, March 22, 2004   Friday, August 06, 2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?