Oleh : Zaim Uchrowi
Tak ada perayaan tanpa berkurban. Tak ada berkurban tanpa dilakukan oleh diri sendiri. Di mata seorang mualaf Barat, itulah salah satu esensi ajaran Islam yang paling menggugah kesadaran kemanusiaannya. Sekitar 4.000 tahun silam, Ibrahim memberi teladan bagaimana berkurban. Peristiwa itu berlangsung di Padang Arafah, tempat 3 juta jamaah haji Sabtu esok berkumpul. Sang Khalik memerintahkan Ibrahim mengurbankan anaknya.
Sebuah perintah yang sungguh menguji perasaannya. Bagaimana mungkin seorang ayah harus mengurbankan anaknya? Bagaimana mungkin sebuah ajaran luhur buat mengangkat martabat manusia harus membuat kurban manusia? Ibrahim mampu melampaui semua itu. Bukan sang anak melainkan domba yang akhirnya harus dijadikan kurban. Pengurbanan juga ditempuh Musa. Sekitar tahun 1.250 SM, ia bersama kabilahnya terjepit di ujung Laut Merah.
Jalan lari dari Mesir ke Yerusalem melalui Sinai telah diblokade. Ramses II, sang Fir'aun, tinggal beberapa saat lagi dapat menangkap dan membunuhnya. Baru pada saat seperti itu Allah menyelamatkan mereka dan menenggelamkan Fir'aun dan pasukannya melalui fenomena gelombang Tsunami. Pengurbanan Isa putra Maryam sekitar 2.000 tahun silam tak kalah berat. Isa menggerakkan revolusi moral untuk meluruskan sikap para pemuka agama Allah.
Saat itu, mereka banyak menyelewengkan institusi agama untuk kepentingan diri sendiri. Untuk memotong gerakan moral itu, mereka berkonspirasi buat membunuh Isa, hingga ia menurut pemeluk Islam diselamatkan Tuhan; atau menurut pemeluk Nasrani dipancang di tiang salib. Muhammad, 14 abad silam, membalik peradaban dengan cara berkurban. Bertahun-tahun ia dimaki, diolok-olok, bahkan dilontari tahi unta. Tiga tahun penuh ia dan pengikutnya dikucilkan di bukit berbatu di luar Makkah dan makan rumput kering.
Ia juga dikepung di rumahnya untuk dibunuh. Dalam perang Uhud, pipinya robek dan sejumlah gigi tanggal tertembus lempeng baja pelindung kepala. Para Rasul itu telah memberi teladan. Sekarang Idul Adha pun tiba. Tidakkah kita tergerak untuk bertanya apakah kita telah berkurban seperti mereka? Menyembelih kambing dan menunaikan ibadah haji hanyalah bentuk fisik dan simbolik dalam berkurban. Bukan darah dan daging kambing itu, dan bukan pula status 'haji', yang akan mengantarkan martabat kita ke jenjang yang layak untuk bersimpuh di haribaan Sang Khalik.
Pengurbanan yang lebih berat setelah menyembelih ternak dan berhaji, adalah 'memberikan diri' untuk hal lebih besar ketimbang kepentingan pribadi. Baik untuk lingkungan, untuk masyarakat, juga pada Sang Khalik. Rasul menunjukkan bahwa salah satu bentuk 'memberikan diri' adalah tersenyum. Bentuk lain adalah berempati, peduli, serta mencurahkan tenaga, pikiran, serta harta pada kepentingan lain di luar kepentingan langsung diri sendiri.
Kita acap enggan berkurban begitu, dan memilih mecurahkan waktu buat mengumpulkan harta, meraih kedudukan, hingga membangun popularitas. Sangka kita harta, kedudukan, dan popularitas yang akan meninggikan martabat diri. Kenyataannya sering tidak demikian. Harta, kedudukan, dan popularitas yang kita idamkan lebih banyak tak tercapai. Apalagi martabat. Baik di mata manusia, apalagi di hadapan Sang Khalik.
Berkurban memberi jalan yang lebih baik buat meraih sukses. Berikan dirimu untuk hal yang lebih besar dari kepentinganmu sendiri, maka kepentinganmu akan tercukupi dengan sendirinya dalam bentuk harta, kedudukan, bahkan popularitas pada proporsi yang tepat. Maka, mengapa kita tak menjadikan Idul Qurban 1424 H ini sebagai momen untuk lebih tersenyum, lebih mendengar, lebih peduli, juga lebih ringan buat mengalokasikan tenaga, pikiran, serta harta bagi yang lain.