<$BlogRSDUrl$>

Berita

Berisi berita2 pilihan editor

Wednesday, January 14, 2004

Mengumbar EMOSI Melukai JIWA 

Kekerasan psikologis terhadap pasangan sering kita lakukan tanpa sadar. Pasangan jadi hidup tanpa daya. Padahal, yang begini bisa dihindari. Tak jarang, akar kekerasan macam ini ada jauh di masa silam.

Iskandar (sebut saja begitu) duduk gelisah dalam rapat di kantor sore itu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Cepat-cepat ia jawab, “Halo, aku sedang rapat ... dengan bagian marketing ... Ya, sebentar lagi.” Rapat berlanjut, tapi Iskandar tampak kurang concent. Setengah jam berlalu, HP-nya “menyalak” lagi, “Belum, belum selesai ada masalah dengan penjualan di Kota Medan. Pukul 19.00, rapat menjelang berakhir. Mata pria berusia 38 tahun itu mematuk-matuk arlojinya. Tiba-tiba, HP-nya menggeram lagi, “Aku masih di kantor ... ya, nanti langsung pulang deh. Setengah jam kemudian, rapat benar-benar ditutup. Ia cepat berbenah, lalu segera pulang. Ia takut ditebengi Rina yang searah dengan rumahnya.

Para peserta rapat bertukar pandang, saling senyum. Bisa mereka bayangkan, entah berapa ratus kata akan disiramkan istri Iskandar kepada suaminya. Betapa tersiksa hidup Iskandar, tak boleh pulang telat, tak boleh semobil dengan wanita lain, tak boleh membuka rute baru selain rumah-kantor-rumah.

Apa yang terjadi pada Irma (nama samaran, 36), istri Iskandar? Ia terus-menerus memonitor keberadaan suaminya. Sehari bisa lebih dari 20 kali ia “meneror” sarjana teknik itu. Padahal, Irma sendiri diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya, membelanjakan uang bulanan yang diberikan Iskandar dengan tak semena-mena, terutama untuk membantu sanak keluarganya. Iskandar pun tak berkutik.

Lebih parah lagi, Irma berlaku bak detektif. Ia memeriksa tubuh suaminya sepulang kantor. Bajunya dibaui, adakah aroma parfum wanita selain miliknya. Bahkan, selalu diikuti diam-diam ke mana pun sang suami pergi, dan “titip mata” kepada sekretaris kantor, dengan siapa saja Iskandar pergi.

Irma tak sendirian. Diah (nama disamarkan, 32), manajer cabang sebuah bank tersohor, tak jarang memamerkan gaji dan posisinya di kantor kepada Surya (nama rekaan, 37), suaminya. Tentulah Surya, yang sejak lima tahun lalu hanya staf promosi sebuah produk mainan anak-anak, terpukul. Walau begitu ia diam saja. Apalagi di depan ketiga anak mereka, Diah terang-terangan melecehkan dirinya. Belum lagi dalam acara arisan keluarga dua bulan sekali, Diah menggelar monolog tentang perilaku nasabah dan situasi perbankan saat ini. Kicau Diah mendominasi sepanjang arisan. Surya merasa tersisih, dan tersengat ketika tiba-tiba Diah menengok ke arahnya, “Surya sih, enggak berani melakukan movement, jadi enggak pernah naik jabatan.” Surya makin terpuruk. Ia merasa, semua yang hadir memandang sinis kepadanya.

Penganiaya & teraniaya

· Dalam balada Irma dan Iskandar serta Diah dan Surya, sesungguhnya Irma dan Diah telah melakukan kekerasan psikologis terhadap suami mereka.

Memang tak ada luka fisik, tetapi luka jiwa di hati para suami membekas lama, malah mungkin selamanya.

“Tak terjadi hubungan yang berkembang jadi pasangan, masih superior-inferior, masih antara yang tertindas dan menindas, sama sekali tidak harmonis,” komentar psikolog Dra. Ieda Poernomo Sigit Sidi atas kisah kedua pasangan itu.

Dari ruang praktiknya, Ieda mencatat sejumlah kasus yang didasari perilaku yang dianggap biasa saja oleh pelaku, tapi ternyata membuat luka batin menyakitkan pada pasangannya. Kasus Iskandar dan Surya hanyalah sebagian kecil dan derita suami atas ulah istri yang melampaui batas “job desk “ nya.

Sebaliknya, derita yang sama banyak pula dirasakan oleh kaum istri. Masih banyak para suami yang memasung kreativitas sang istri, padahal wanita itu memiliki potensi untuk melakukan sesuatu di luar rumah tangganya, bekerja di kantor, misalnya. Alasan klasik yang dijadikan senjata, “Siapa nanti yang mengurus rumah?”

Jika istri sempat mengenyam pendidikan tinggi, keharusan tinggal di rumah saja sudah amat menyiksa. Contohnya, yang dialami Ira (bukan nama asli, 27). Keinginan bekerja sarjana bahasa salah satu perguruan negeri swasta ini ditolak mentah-mentah oleh suaminya, Anto (juga nama rekaan, 31), karyawan salah satu bank swasta papan tengah. Sebenarnya, Ira berniat membantu Anto menopang keuangan keluarga, jika isu PHK besar-besaran jadi mengguncang kantornya terbukti. Berkali-kali ia mengutarakan niat bekerja. Namun, baru kalimat pertama sudah dipatahkan Anto. Pria kelahiran Purwokerto itu mengumpat, “Jatuh harga diriku, nanti dikira aku tak mampu menafkahi keluarga.” Ira hanya bisa menangis, ketika Anto mengekangnya lebih keras. Mengira istrinya dihasut orang lain, maka seluruh akses ditutup. Ia tak boleh berhubungan dengan siapa pun, termasuk keluarga, tanpa seizinnya.

Penganiayaan secara halus tapi menusuk jiwa, dilakukan juga oleh suami yang malu membawa istrinya ke tengah publik. Atau, cara suami memperkenalkan istri ke temannya sedemikian rupa hingga terkesan melecehkan istri sendiri.

Lalu, bagaimana mengatasinya?

· “Lebih baik masing-masing memosisikan diri pada perannya. (Dalam kasus Diah dan Surya) sekecil apa pun gaji suami, itu adalah nafkah utama,” tandasnya.

Walau gaji istri berlipat kali, statusnya tetap nafkah pendamping. Jadi, pundi keluarga adalah gabungan dari keduanya. Sementara penggunaannya sebaiknya atas dasar kesepakatan bersama.

Memang, diakui, Diah mampu memanfaatkan emansipasi yang diberikan Surya, hingga di kantor ia berhasil jadi pimpinan. Namun, di rumah ia harus kembali kepada struktur di rumah. “Kebanyakan istri lupa ia bekerja untuk apa, lalu menganggap remeh suami. Padahal, kedudukan kepala keluarga bukan ditentukan oleh besarnya gaji atau tingginya kedudukan,” kritik psikolog berputra dua ini.

Sementara, pada kisah Ira dan Anto, seharusnya Anto, yang seorang sarjana, mampu berpikir secara luas ke depan, sebagaimana pasangan hidup laiknya. “Tentunya ia menyadari, dengan siapa ia menikah. (Ira adalah contoh) seorang dewasa yang sadar posisi sebagai istri, tahu tanggung jawab dunia-akhirat. Jadi, tak usah dikendalikan begitu ketat,” tegas leda. Yang disayangkan, potensi besar Ira layu sebelum berkembang, lantaran suaminya tergolong konservatif. Sebaiknya, niat Ira dibicarakan dulu, lalu diujicoba.

“Kebanyakan wanita merasa ini sudah kodrat. Padahal kodrat wanita adalah mengandung, melahirkan, menyusui. Tapi hak istri juga harus diperhatikan dong,” kata Ieda dalam nada tinggi. Apalagi belakangan ini marak fenomena yang seolah disahkan masyarakar luas, padahal amat menyakitkan kaum wanita, yakni poligami. Sang istri pun merasa itu bukan siksaan, karena sudah nasib, ya diterima saja. “Secara mental itu tidak sehat. Setelah usianya menjelang senja, barulah ia sadar, “hidup saya ini apa dan untuk siapa”. Tapi semua sudah terlambat,” sendu bicara Ieda.

Akar Masa Lalu

· Menurut Ieda Poernomo Sigit Sidi, ada hubungan antara kekerasan psikologis dan masa lalu si pelaku.

Jika dulu bapaknya suka memukuli ibunya, maka begitulah juga ia mengajar istrinya. Peristiwa masa lalu itu mengendap ke alam bawah sadar. Karena tak bisa ditahan terus-menerus, maka begitu ada kesempatan, meledaklah keluar. Yang bersangkutan sendiri kaget, kok sampai melakukan hal itu. Untuk mengetahui penyebabnya, si pelaku diajak melakukan perjalanan ke masa lalu, masuk ke alam unconscious (bawah sadar)-nya.

Begitu ketemu penyebabnya, biasanya kaget, karena selama ini ia tak menyadari memiliki hal itu. Maka ia pun kesal pada diri sendiri. Itulah akibat jika ada sesuatu yang ia tahu btdak baik, langsung ditekan. Begitu seterusnya. Jika ini tidak diselesaikan, akan muncul kapan pun.

Kalau toh ia sudah menyadari hal itu, tapi tetap melakukannya lagi, maka ia perlu psikolog. Sebab, ia tidak mampu mengendalikan diri-sendiri, tidak mampu menata emosinya. Harus dengan bantuan psikoterapi. Untuk menyembuhkannya, ada sejumlah langkah yang harus ia lakukan. Jika istri atau suami bisa mengerti dan bisa diajak kerja sama, maka akan segera dilibatkan.

Ieda menunjuk kasus Adi (nama disamarkan, 27), seorang manajer bidang TI, yang tergolong orang yang susah mengerti atau dimengerti, susah bergaul, sinis terhadap orang lain, sering menyakiti hati lingkungan kantor dan rumah. Oleb Ieda, ia dituntun melakukan perjalanan psikologis cukup panjang membongkar masa lalunya. Akhirnya ketemu, ia pernah dihukum ayahnya pada umur sembilan tahun. Kebetulan ayahnya masih ada, sehingga Ieda menganjurkan agar diselesaikan. “Katakan apa perasaanmu, ucapkan terima kasih telah dididik seperti itu hingga sekarang bisa jadi orang,” begitu Ieda meminta kepada Adi. Untunglah, sang ayah masih sempat ditemui, sempat menjelaskan apa maksud dan tujuan hukuman itu. Kalau tidak, si anak akan terus membawa interpretasinya sendiri seumur hidup. Ayah dan anak berjalan bersama, tapi ada rongga psikologis yang amat besar di antara mereka.

Begitulah, kekerasan apa pun bentuknya, fisik atau nonfisik, adalah produk dari kekerasan juga di masa lain. Berdialog, membuka komunikasi, menata emosi, saling berempati, saling terbuka, saling berbagi rasa adalah kunci pembuka simpul persoalan psikologis di antara suami-istri.

Bukan hanya terhadap pasangan, perlakuan manusiawi dan bermartabat juga diutamakan terhadap anak-anak. Hati-hati, anak-anak bisa membawa luka jiwa sepanjang hidupnya. (Intisari)

posted by IT Tipps & Tricks  # 4:35 PM

Archives

Tuesday, December 16, 2003   Wednesday, December 17, 2003   Wednesday, December 24, 2003   Thursday, December 25, 2003   Saturday, January 03, 2004   Monday, January 05, 2004   Tuesday, January 13, 2004   Wednesday, January 14, 2004   Sunday, February 01, 2004   Monday, February 02, 2004   Monday, February 16, 2004   Wednesday, February 18, 2004   Thursday, February 19, 2004   Wednesday, March 03, 2004   Monday, March 22, 2004   Friday, August 06, 2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?