<$BlogRSDUrl$>

Berita

Berisi berita2 pilihan editor

Saturday, January 03, 2004

Sekali Lagi, Pornografi di Media Massa 

Oleh Prie GS
Pornografi dalam media massa? Sah saja. Sah dalam pengertian; bahwa pornografi itu memang muncul dalam media porno. Itulah kenapa di dunia media massa dikenal dengan yellow paper, media kuning yang menempatkan sex, crime dan sensation sebagai menu utamanya. Di negara-negara sekuler, yellow paper adalah fenomena yang biasa saja. Seperti pelacur yang buka praktek di lokalisasi. Ia legal.

Persoalannya, watak seperti apakah negara Indonesia ini. Negara sekuler bukan, negara agama juga bukan. Karena tidak jelas, yang agama dan yang sekuler itu lalu bisa hidup bersama-sama. Atau sebaliknya; karena agama dan sekularisme itu hidup bersama-sama, maka Indonesia lalu bingung dan memilih berideologi lain yang diharap menjadi jalan tengah, misalnya Pancasila.

Kerepotan bukan malah berhenti tapi malah berlanjut. Karena secara definitif, seperti apakah pijakan Negara Pancasila itu? Belum jelas, walau ada yang paling menonjol dari Pancasila yakni semboyan Bhenika Tunggal Ika itu, artinya pluralisme.

Baiklah, plural adalah sebuah entitas yang penting di Indoensia. Tapi sejauh mana masyarakat kita konsisten terhadap pluralisme? Tidak terlalu menggembirakan faktanya. Soal utamanya adalah karena definisi plural itu kemudian tidak tidak cuma berhenti pada kata benda (noun) tapi juga sudah sering menjadi kata sifat (adjektive). Maka jika manusia Indonesia melihat pinggul bergoyang, yang dia rasakan bukan bahwa pinggul itu sekadar bagian dari pluralisme gerakan pinggul, tapi apakah gerakan itu porno tidak porno, bermoral atau amoral.

Kasus perseteruan Rhoma Irama vs Inul Daratista beberapa waktu lalu adalah contoh paling menarik kasus ini. Sementara Rhoma sedang yakin berjihad menegakkan amar makruf nahi munkar, pendukung Inul santai-santai saja dengan menganggap goyangan seperti ini, tak lebih cuma bagian dari kesenian pop belaka. Dan goyang Inul itu menjadi makin tidak melayani kritik Rhoma ketika sudut pandang demokrasi telah ikut memerankan diri. Maka faktanya, bukannya jenis goyang itu kini mereda tapi malah meningkat dengan pesatnya. Setelah goyang ngebor, muncul lagi goyang ngecor, goyang vibrator, goyang kayang dan ...goyang ngelas! Dalam soal ini pendekatan analisis wacana (discourse analysis) ajaran Michel Foucoult bisa membantu memberi penjelasan.

Tapi kasus Rhoma vs Inul ini tidak menarik dari sisi siapa menang siapa kalah. Ia menarik, bahwa jika sebuah bangsa tidak segera menyepakati wacananya dalam bernegara, akan terjadi ketegangan terus-menerus. Ini yang berbahaya dan akan sangat menguras tenaga. Indonesia terlalu telambat untuk menjadi negara agama dan terlalu pemalu untuk menjadi negara sekuler. Ini merepotkan. Padahal faktanya, dua kenyataan itu telah memiliki akar yang sama kuatnya. Untuk menarik mundur, memerlukan sebuah pembongkaran total, kalau tidak boleh disebut mustahil.

Upaya penarikan mundur secara paksa, itulah yang kemudian malah melahirkan gerakan yang sering disebut sebagai si garis keras, si fundamentalis, militan dan sebagainya itu. Tapi mari kita lihat faktanya, apakah gerakan-gerakan radikal semacam itu sanggup mengkonsolidasikan keadaan. Rasanya, tida juga. Gerakan itu ternyata jauh lebih banyak mendatangkan ketegangan katimbang ketenangan hidup bersama.

Hidup bersama inilah titik persoalannya yang kemudian harus membawa konsekuensi urusan bersama, res republica. Ketika sudah menginjak urusan bersama inilah konsep demokrasi memang harus dimunculkan. Jadi wacana demokrasi itulah jalan tengah yang penting diusulkan. Jadi ketika sudah menyangkut bicara soal hidup bersama, soal res republica itu, manusia Indonesia berkewajiban menanggalkan wacana parsialnya dan menuju wacana hidup bersama. Dan inilah terjemahan paling akhir demokrasi.

Tentu terjemahan ini sudah melenceng dari konsep demokrasi Aristotelian yang menganggap demokrasi malah sebagai anomali, sebagai deviasi dari pemerinatahan yang ideal, yakni monarki. Tapi karena pemerintahan ideal semacam itu tidak pernah benar-benar terwujud dan gaya monarki malah melulu membawa musibah, akhirnya paham paling menyimpang inilah yang justru dianggap paling reaslitis. Sekali lagi, tidak ideal, tapi realistis. Demokrasi sendiri dilahirkan secara sadar bukan untuk mengabdi efisiensi tapi demi keberlangsungan hidup bersama. Menghitung kepentingan bersama, sungguh tidak efesien dari kalkualsi kepentingan diri sendiri.

Jadi menjadi manusia Indonesia, tidak perlu ngotot menjadi ideal, tapi cukup realistis saja. Maka konsep demokrasi yang diaktualisasi oleh Abraham Lincoln pada masa berkecamuknya perang saudara di Amerika penting ditegaskan kembali; bahwa demokrasi adalah ''pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.'' Karena rakyat Indonesia telah kepalang banyak ragamnya, maka ujian demokrasi di Indonesia makin berat saja karena harus menghitung hak hidup pihak yang banyak dan berbeda itu.

Maka persoalan terberat seorang demokrat adalah kesanggupannya dalam memberi hak hidup bagi si berbeda, lepas dari soal suka dan tidak suka. Begitu juga pembaca yang demokrat, akan membiarkan jenis pers tertentu hidup, walau ia datang dari jenis yang sangat dibencinya.

posted by IT Tipps & Tricks  # 10:51 PM

Archives

Tuesday, December 16, 2003   Wednesday, December 17, 2003   Wednesday, December 24, 2003   Thursday, December 25, 2003   Saturday, January 03, 2004   Monday, January 05, 2004   Tuesday, January 13, 2004   Wednesday, January 14, 2004   Sunday, February 01, 2004   Monday, February 02, 2004   Monday, February 16, 2004   Wednesday, February 18, 2004   Thursday, February 19, 2004   Wednesday, March 03, 2004   Monday, March 22, 2004   Friday, August 06, 2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?